Contoh Cerpen "Gara-Gara Satu Menit"

Gara Gara Satu Menit



Cerpen Karangan: Dini Nasution
 
“Febi,” dengan keras suara itu memanggil namaku, tidak hanya sekali tetapi berulang kali.
Aku tahu siapa pemilik suara itu, suara yang tidak asing lagi bagiku, suara itu tidak hanya sekedar berteriak memanggilku setiap pagi, tapi suara itu sering mengeluarkan kata nasihat dan teguran yang sangat berguna untukku, nasehat seorang ibu yang selalu mengiringi langkah anaknya. Pagi ini aku benar-benar tidak tau harus bagaimana, biasanya ketika namaku dipanggil satu kali saja aku langsung bangkit, segera melangkahkan kaki untuk mengambil wudu lalu melaksanakan salat subuh. Tapi entah kenapa, pagi ini mataku sangat sulit sekali untuk dibuka seperti ada lem yang melekat di kedua kelopak mataku. Tubuhku agak kaku dan sangat sulit untuk digerakkan, sepertinya masih enggan untuk berpisah dengan kasur dan bantal yang selalu menemani tidurku.
“Krek,” suara pintu kamarku terbuka, karena takut dimarahi ibu aku langsung bangkit, ku lihat jam kamarku sudah menunjukkan pukul 07.00. Aku langsung berlari mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi, aku sangat tergese-gesa, ya… 15 menit lagi bel akan berbunyi di sekolahku. Ibu yang sedari tadi berdiri di depan pintu hanya menontonku sambil geleng-geleng kepala, aku hanya tersenyum malu dengan sikapku pagi ini. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini, marah atau bagaimana, yang jelas ini adalah pertama kali aku bangun kesiangan dan berangkat ke sekolah. Mungkin ini gara-gara tadi malam menonton pertandingan badminton antara ganda putra indonesia dengan ganda putra dari jepang.
Aku sangat menyukai badminton, bukan hanya permainannya, tetapi juga para pemainnya. Mungkin karena pemainnya badminton bisa menyalurkan semangat positif kepada penonton, dan itulah yang ku rasakan ketika menonton pertandingan badminton tadi malam. Mungkin juga karena asia masih mendominasi pertandingan badminton, aku sangat suka asia walaupun sebagian orang sangat menggilai eropa, mungkin kerana aku sangat mencintai indonesia, sehingga aku sangat suka asia. Setelah selesai memakai pakaian seragam sekolah, aku langsung lari ke luar dari kamar menghampiri ibu yang sudah berada di meja makan mempersiapkan sarapan, aku langsung pamit dan mencium tangan ibu. Kemudian, kembali berlari ke luar rumah dan segera naik taksi.
Di dalam taksi aku sangat cemas, setiap detik aku selalu melihat jam tangan pink yang membalut manis di tangan kiriku, lima menit lagi bel akan berbunyi. Aku semakin cemas, posisi duduk yang tadinya tenang sekarang sudah tidak menentu. Macet, ya, macet adalah hal yang paling ku takutkan, karena macet perjalanan dekat terasa sangat jauh. Ketika taksi yang ku tumpangi kembali berjalan, aku meminta pak sopir menambah kelajuan taksinya. Ketika sampai di depan sekolah, aku terdiam ketika melihat gerbang sekolah sudah terkunci rapat. Sekali lagi kembali ku lihat jam tanganku untuk memastikan dan ternyata aku terlambat satu menit, ya… Hanya satu menit. Bagi sekolah lain mungkin masih ada toleransi, tapi bukan untuk sekolah SMA terbaik yang ada di kotaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya diam berdiri mematung di depan gerbang sekolah.
Aku tidak tahu, apa aku harus menyesal menonton pertandingan badminton tadi malam yang membuatku pagi ini dan untuk pertama kalinya terlambat sekolah. Tapi aku sangat bahagia dan bangga ketika melihat indonesia menaklukkan jepang sehingga dapat mengibarkan bendera sangsaka merah putih dan menyanyikan lagu indonesia di negeri orang. Momen seperti itu yang sangat membuatku merinding dengan mata berkaca-kaca. Senyuman manis Muhammad Ahsan dan mata sipit Hendra Setiawan masih terbayang-bayang di mataku, aku masih ingat ekspresi bahagia di wajah anak terbaik bangsa itu. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku tentang badminton ketika seseorang datang dan menyapaku.
“Kamu juga terlambat ya?” kata laki-laki itu berdiri tegap di depanku. Aku sangat kaget ketika ketika tahu bahwa laki-laki yang berdiri di depanku dan dan sedang menyapaku itu adalah Tomy, ya, tepatnya Tomy Wijaya anak kelas XI ipa 1 yang sangat pendiam tetapi dia adalah pemain badminton terbaik di sekolahku, dia sering menjuarai perlombaan antar kelas, antar sekolah bahkan antar kota. Sudah lama aku mengaguminya mungkin karena mata sipitnya dan gayanya yang cool atau mungkin karena aku sangat suka dengan badminton.
“Kamu terlambat juga kan?” Tomy kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
“Satu menit, ya satu menit,” aku menjawabnya dengan lantang, entah karena aku gugup atau terlalu bersemangat. Dia tersenyum melihat tingkahku, matanya seolah hilang karena mata sipitnya. Aku sangat malu bercampur senang, malu karena sikapku terlihat gugup dan senang karena aku bisa berduaan ngobrol dan tertawa dengan orang yang selama ini aku kagumi. Ya, sejak hari pertama sekolah aku sangat senang melihatnya, terlebih setelah aku tahu dia adalah pemain badminton terbaik di sekolahku.
“Nama kamu Febi kan? anak kelas XI ips1? Pertanyaan Tomy benar-benar membuatku kaget, jantungku mulai berdetak tidak normal, entah perasaan apa yang sekarang menghantuiku yang jelas aku sangat kaget.
“Loh, kenapa kamu tahu?” tanya Aysah dengan gugup.
“Aku lihat papan nama kamu!” cetus Tomy singkat dengan bibir tersenyum.
“Apa?” kataku kaget, aku sangat malu ketika Tomy mengatakan seperti itu, aku merasa kelihatan bodoh berada di hadapannya, aku tidak bisa berkata-kata dan aku hanya tertunduk diam.
“Aku cuma bercanda kok,” kata Tomy menatapku tersenyum lebar. Aku baru sadar Tomy bukanlah orang pendiam, ternyata dia orang yang suka bercanda. “Aku sering bertanya kepada pemain badminton yang lain, tentang seorang siswi yang selalu duduk di bangku depan ketika aku bermain badminton, dia selalu ada di setiap pertandinganku, dia selalu datang sendiri, duduk manis menyaksikan pertandingan sampai akhir, dia hanya tersenyum ketika melihatku menang kemudian pergi begitu saja,” kata Tomy dengan serius memandangku, aku hanya tertunduk diam, aku tidak berani mengangkat kepalaku bahkan memandangnya. Aku malu ternyata selama ini Tomy tahu kalau aku selalu ada di setiap pertandingannya dan diam-diam memperhatikannya.
“Mereka bilang, dia itu bernama Febi Azzahra, siswi kelas XI ips 1!” sambung Tomy dan tetap memandangku. Aku hanya bisa tersenyum malu tanpa berkata apa-apa, dia pun membalas senyumku dengan penuh makna. Tiba-tiba satpam sekolah datang mengganggu suasana, suasana yang baru pertama kali ku rasakan, ya, suasana terlambat sekolah yang sangat romantis, romantis karena aku bertemu sosok siswa yang ku kagumi.
“Kalian berdua boleh masuk, dan segera menuju kelas masing-masing!” kata satpam sambil membuka pagar yang terkunci rapat. Aku dan Tomy pun masuk dan saling tersenyum ketika berpisah memasuki kelas masing-masing. Sekarang aku sadar, gara-gara terlambat satu menit aku bertemu dan berbicara dengannya, sosok pemain badminton terbaik di sekolahku, satu menit telah mengungkap semua rahasia dan perasaan terpendamku yang diam-diam mengaguminya dan menaruh hati padanya. Ya, mungkinkah aku mengulanginya?
Sekian

Salam hangat dari blogger asal kota kembang Bandung ;-) Neng Febby

0 komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang akan mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.

Terimakasih

feby. Diberdayakan oleh Blogger.

Latest Post

Text

Advertisements

Popular Posts