Gara Gara Satu Menit
“Febi,” dengan keras suara itu memanggil namaku, tidak hanya sekali tetapi berulang kali.
Aku tahu siapa pemilik suara itu, suara yang tidak asing lagi bagiku,
suara itu tidak hanya sekedar berteriak memanggilku setiap pagi, tapi
suara itu sering mengeluarkan kata nasihat dan teguran yang sangat
berguna untukku, nasehat seorang ibu yang selalu mengiringi langkah
anaknya. Pagi ini aku benar-benar tidak tau harus bagaimana, biasanya
ketika namaku dipanggil satu kali saja aku langsung bangkit, segera
melangkahkan kaki untuk mengambil wudu lalu melaksanakan salat subuh.
Tapi entah kenapa, pagi ini mataku sangat sulit sekali untuk dibuka
seperti ada lem yang melekat di kedua kelopak mataku. Tubuhku agak kaku
dan sangat sulit untuk digerakkan, sepertinya masih enggan untuk
berpisah dengan kasur dan bantal yang selalu menemani tidurku.
“Krek,” suara pintu kamarku terbuka, karena takut dimarahi ibu aku
langsung bangkit, ku lihat jam kamarku sudah menunjukkan pukul 07.00.
Aku langsung berlari mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi, aku
sangat tergese-gesa, ya… 15 menit lagi bel akan berbunyi di sekolahku.
Ibu yang sedari tadi berdiri di depan pintu hanya menontonku sambil
geleng-geleng kepala, aku hanya tersenyum malu dengan sikapku pagi ini.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat ini, marah atau
bagaimana, yang jelas ini adalah pertama kali aku bangun kesiangan dan
berangkat ke sekolah. Mungkin ini gara-gara tadi malam menonton
pertandingan badminton antara ganda putra indonesia dengan ganda putra
dari jepang.
Aku sangat menyukai badminton, bukan hanya permainannya, tetapi juga
para pemainnya. Mungkin karena pemainnya badminton bisa menyalurkan
semangat positif kepada penonton, dan itulah yang ku rasakan ketika
menonton pertandingan badminton tadi malam. Mungkin juga karena asia
masih mendominasi pertandingan badminton, aku sangat suka asia walaupun
sebagian orang sangat menggilai eropa, mungkin kerana aku sangat
mencintai indonesia, sehingga aku sangat suka asia. Setelah selesai
memakai pakaian seragam sekolah, aku langsung lari ke luar dari kamar
menghampiri ibu yang sudah berada di meja makan mempersiapkan sarapan,
aku langsung pamit dan mencium tangan ibu. Kemudian, kembali berlari ke
luar rumah dan segera naik taksi.
Di dalam taksi aku sangat cemas, setiap detik aku selalu melihat jam
tangan pink yang membalut manis di tangan kiriku, lima menit lagi bel
akan berbunyi. Aku semakin cemas, posisi duduk yang tadinya tenang
sekarang sudah tidak menentu. Macet, ya, macet adalah hal yang paling ku
takutkan, karena macet perjalanan dekat terasa sangat jauh. Ketika
taksi yang ku tumpangi kembali berjalan, aku meminta pak sopir menambah
kelajuan taksinya. Ketika sampai di depan sekolah, aku terdiam ketika
melihat gerbang sekolah sudah terkunci rapat. Sekali lagi kembali ku
lihat jam tanganku untuk memastikan dan ternyata aku terlambat satu
menit, ya… Hanya satu menit. Bagi sekolah lain mungkin masih ada
toleransi, tapi bukan untuk sekolah SMA terbaik yang ada di kotaku. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya diam berdiri mematung di depan
gerbang sekolah.
Aku tidak tahu, apa aku harus menyesal menonton pertandingan
badminton tadi malam yang membuatku pagi ini dan untuk pertama kalinya
terlambat sekolah. Tapi aku sangat bahagia dan bangga ketika melihat
indonesia menaklukkan jepang sehingga dapat mengibarkan bendera sangsaka
merah putih dan menyanyikan lagu indonesia di negeri orang. Momen
seperti itu yang sangat membuatku merinding dengan mata berkaca-kaca.
Senyuman manis Muhammad Ahsan dan mata sipit Hendra Setiawan masih
terbayang-bayang di mataku, aku masih ingat ekspresi bahagia di wajah
anak terbaik bangsa itu. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku tentang
badminton ketika seseorang datang dan menyapaku.
“Kamu juga terlambat ya?” kata laki-laki itu berdiri tegap di
depanku. Aku sangat kaget ketika ketika tahu bahwa laki-laki yang
berdiri di depanku dan dan sedang menyapaku itu adalah Tomy, ya,
tepatnya Tomy Wijaya anak kelas XI ipa 1 yang sangat pendiam tetapi dia
adalah pemain badminton terbaik di sekolahku, dia sering menjuarai
perlombaan antar kelas, antar sekolah bahkan antar kota. Sudah lama aku
mengaguminya mungkin karena mata sipitnya dan gayanya yang cool atau
mungkin karena aku sangat suka dengan badminton.
“Kamu terlambat juga kan?” Tomy kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
“Satu menit, ya satu menit,” aku menjawabnya dengan lantang, entah karena aku gugup atau terlalu bersemangat. Dia tersenyum melihat tingkahku, matanya seolah hilang karena mata sipitnya. Aku sangat malu bercampur senang, malu karena sikapku terlihat gugup dan senang karena aku bisa berduaan ngobrol dan tertawa dengan orang yang selama ini aku kagumi. Ya, sejak hari pertama sekolah aku sangat senang melihatnya, terlebih setelah aku tahu dia adalah pemain badminton terbaik di sekolahku.
“Satu menit, ya satu menit,” aku menjawabnya dengan lantang, entah karena aku gugup atau terlalu bersemangat. Dia tersenyum melihat tingkahku, matanya seolah hilang karena mata sipitnya. Aku sangat malu bercampur senang, malu karena sikapku terlihat gugup dan senang karena aku bisa berduaan ngobrol dan tertawa dengan orang yang selama ini aku kagumi. Ya, sejak hari pertama sekolah aku sangat senang melihatnya, terlebih setelah aku tahu dia adalah pemain badminton terbaik di sekolahku.
“Nama kamu Febi kan? anak kelas XI ips1? Pertanyaan Tomy benar-benar
membuatku kaget, jantungku mulai berdetak tidak normal, entah perasaan
apa yang sekarang menghantuiku yang jelas aku sangat kaget.
“Loh, kenapa kamu tahu?” tanya Aysah dengan gugup.
“Aku lihat papan nama kamu!” cetus Tomy singkat dengan bibir tersenyum.
“Apa?” kataku kaget, aku sangat malu ketika Tomy mengatakan seperti itu, aku merasa kelihatan bodoh berada di hadapannya, aku tidak bisa berkata-kata dan aku hanya tertunduk diam.
“Loh, kenapa kamu tahu?” tanya Aysah dengan gugup.
“Aku lihat papan nama kamu!” cetus Tomy singkat dengan bibir tersenyum.
“Apa?” kataku kaget, aku sangat malu ketika Tomy mengatakan seperti itu, aku merasa kelihatan bodoh berada di hadapannya, aku tidak bisa berkata-kata dan aku hanya tertunduk diam.
“Aku cuma bercanda kok,” kata Tomy menatapku tersenyum lebar. Aku
baru sadar Tomy bukanlah orang pendiam, ternyata dia orang yang suka
bercanda. “Aku sering bertanya kepada pemain badminton yang lain,
tentang seorang siswi yang selalu duduk di bangku depan ketika aku
bermain badminton, dia selalu ada di setiap pertandinganku, dia selalu
datang sendiri, duduk manis menyaksikan pertandingan sampai akhir, dia
hanya tersenyum ketika melihatku menang kemudian pergi begitu saja,”
kata Tomy dengan serius memandangku, aku hanya tertunduk diam, aku tidak
berani mengangkat kepalaku bahkan memandangnya. Aku malu ternyata
selama ini Tomy tahu kalau aku selalu ada di setiap pertandingannya dan
diam-diam memperhatikannya.
“Mereka bilang, dia itu bernama Febi Azzahra, siswi kelas XI ips 1!”
sambung Tomy dan tetap memandangku. Aku hanya bisa tersenyum malu tanpa
berkata apa-apa, dia pun membalas senyumku dengan penuh makna. Tiba-tiba
satpam sekolah datang mengganggu suasana, suasana yang baru pertama
kali ku rasakan, ya, suasana terlambat sekolah yang sangat romantis,
romantis karena aku bertemu sosok siswa yang ku kagumi.
“Kalian berdua boleh masuk, dan segera menuju kelas masing-masing!”
kata satpam sambil membuka pagar yang terkunci rapat. Aku dan Tomy pun
masuk dan saling tersenyum ketika berpisah memasuki kelas masing-masing.
Sekarang aku sadar, gara-gara terlambat satu menit aku bertemu dan
berbicara dengannya, sosok pemain badminton terbaik di sekolahku, satu
menit telah mengungkap semua rahasia dan perasaan terpendamku yang
diam-diam mengaguminya dan menaruh hati padanya. Ya, mungkinkah aku
mengulanginya?
Sekian
Salam hangat dari blogger asal kota kembang Bandung ;-)
Neng Febby
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang akan mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.
Terimakasih